Agar Kita Turut Merasakan Indahnya Ramadhan
|
“Agar Kita Turut Merasakan Indahnya Ramadhan”
Tamu agung itu sebentar lagi akan
tiba, sudah siapkah kita untuk menyambutnya? Bisa jadi inilah Ramadhan terakhir
kita sebelum menghadap kepada Yang Maha Kuasa. Betapa banyak orang-orang yang
pada tahun kemarin masih berpuasa bersama kita, melakukan shalat tarawih dan
idul fitri di samping kita, namun ternyata sudah mendahului kita dan sekarang
mereka telah berbaring di ‘peristirahatan umum’ ditemani hewan-hewan tanah.
Kapankah datang giliran kita?
Dalam dua buah hadits, Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam menggambarkan kondisi dua golongan yang saling bertolak
belakang kondisi mereka dalam berpuasa dan melewati bulan Ramadhan:
Golongan pertama digambarkan oleh
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya:
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan
mengharapkan pahala, maka akan dosanya yang telah lalu akan diampuni.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Golongan kedua digambarkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam sabdanya:
“Betapa banyak orang berpuasa yang hanya memetik lapar dan
dahaga.” (HR. Ibnu Majah), al-Hakim dan dia menshahihkannya. Al-Albani
berkata: “Hasan Shahih.”
Akan termasuk golongan manakah
kita? Hal itu tergantung dengan usaha kita dan taufik dari Allah Ta’ala.
Bulan Ramadhan merupakan momentum
agung dari ladang-ladang yang sarat dengan keistimewaan, satu masa yang menjadi
media kompetisi bagi para pelaku kebaikan dan orang-orang mulia. Oleh sebab
itu, para ulama telah menggariskan beberapa kiat dalam menyongsong musim-musim
limpahan kebaikan semacam ini, supaya kita turut merasakan nikmatnya bulan suci
ini. Di antara kiat-kiat tersebut adalah sebagai berikut:
Kiat Pertama:
Bertawakal kepada Allah Ta’ala
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
menjelaskan, “Dalam menyambut kedatangan musim-musim ibadah, seorang hamba
sangat membutuhkan bimbingan, bantuan dan taufik dari Allah ta’ala. Cara meraih
itu semua adalah dengan bertawakal kepada-Nya.”
Oleh karena itu, salah satu teladan dari ulama salaf -sebagaimana
yang dikisahkan Mu’alla bin al-Fadhl- bahwa mereka berdoa kepada Allah dan
memohon pada-Nya sejak enam bulan sebelum Ramadhan tiba agar dapat menjumpai
bulan mulia ini dan memudahkan mereka untuk beribadah di dalamnya. Sikap ini
merupakan salah satu perwujudan tawakal kepada Allah.
Menghadirkan rasa tawakal kepada
Allah adalah merupakan suatu hal yang paling penting untuk menyongsong
musim-musim ibadah semacam ini; untuk menumbuhkan rasa lemah, tidak berdaya dan
tidak akan mampu menunaikan ibadah dengan sempurna, melainkan semata dengan
taufik dari Allah. Selanjutnya kita juga harus berdoa kepada Allah agar
dipertemukan dengan bulan Ramadhan dan supaya Allah membantu kita dalam beramal
di dalamnya. Ini semua merupakan amalan yang paling agung yang dapat
mendatangkan taufik Allah dalam menjalani bulan Ramadhan.
Kita amat perlu untuk senantiasa
memohon pertolongan Allah ketika akan beramal karena kita adalah manusia yang
disifati oleh Allah ta’ala sebagai makhluk yang lemah:
“Dan manusia dijadikan
bersifat lemah.” (TQS. An-Nisa: 28)
Jika kita bertawakal kepada Allah
dan memohon kepada-Nya, niscaya Dia akan memberi taufik-Nya pada kita.
Kiat kedua: Bertaubat Sebelum Ramadhan Tiba
Banyak sekali dalil yang
memerintahkan seorang hamba untuk bertaubat, di antaranya: firman Allah Ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan
taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kamu akan menghapuskan
kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai.” (TQS. At Tahrim: 8)
Kita diperintahkan untuk senantiasa bertaubat, karena tidak ada
seorang pun di antara kita yang terbebas dari dosa-dosa. Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam mengingatkan,
“Setiap keturunan Adam itu
banyak melakukan dosa dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang
bertaubat.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan isnadnya oleh Syaikh Salim Al Hilal)
Ada suatu kesalahan yang harus
diwaspadai: sebagian orang terkadang betul-betul ingin bertaubat dan bertekad
bulat untuk tidak berbuat maksiat, namun hanya di bulan Ramadhan saja, setelah
bulan suci ini berlalu dia kembali berbuat maksiat. Sebagaimana taubatnya para
artis yang ramai-ramai berjilbab di bulan Ramadhan, namun setelah itu kembali
‘pamer aurat’ sehabis idul fitri. Ini merupakan suatu bentuk kejahilan.
Seharusnya, tekad bulat untuk tidak mengulangi perbuatan dosa dan berlepas diri
dari maksiat, harus tetap menyala baik di dalam Ramadhan maupun di bulan-bulan
sesudahnya.
Kiat Ketiga: Membentengi Puasa Kita dari Faktor-Faktor yang
Mengurangi Keutuhan Pahalanya
Sisi lain yang harus mendapatkan
porsi perhatian spesial, bagaimana kita berusaha membentengi puasa kita dari
faktor-faktor yang mengurangi keutuhan pahalanya. Seperti menggunjing dan
berdusta. Dua penyakit ini berkategori bahaya tinggi, dan sedikit sekali orang
yang selamat dari ancamannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan:
“Barang siapa yang tidak
meninggalkan kata-kata dusta dan perbuatannya, maka niscaya Allah tidak akan
membutuhkan penahanan dirinya dari makanan dan minuman (tidak membutuhkan
puasanya).” (HR. Bukhari)
Orang yang menahan lisannya dari
ghibah dan matanya dari memandang hal-hal yang haram ketika berpuasa Ramadhan tanpa
mengiringinya dengan amalan-amalan sunnah, lebih baik daripada orang yang
berpuasa plus menghidupkan amalan-amalan sunnah, namun dia tidak berhenti dari
dua budaya buruk tadi! Inilah realita mayoritas masyarakat; ketaatan yang
bercampur dengan kemaksiatan.
Kiat Keempat: Memprioritaskan Amalan yang Wajib
Hendaknya orang yang berpuasa itu
memprioritaskan amalan yang wajib. Karena amalan yang paling dicintai oleh
Allah ta’ala adalah amalan-amalan yang wajib. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam menjelaskan dalam suatu hadits qudsi, bahwa Allah ta’ala
berfirman:
“Dan tidaklah seseorang mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu
amalan yang lebih Aku cintai daripada amalan-amalan yang Ku-wajibkan.”
(HR. Bukhari)
Di antara aktivitas yang paling wajib dilaksanakan pada bulan
Ramadhan adalah: mendirikan shalat berjamaah lima waktu di masjid (bagi kaum
pria), berusaha sekuat tenaga untuk tidak ketinggalan takbiratul ihram. Telah
diuraikan dalam sebuah hadits:
“Barang siapa yang shalat
karena Allah selama empat puluh hari dengan berjama’ah dan selalu mendapatkan
takbiratul ihram imam, akan dituliskan baginya dua ‘jaminan surat kebebasan’
bebas dari api neraka dan dari nifaq.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan oleh
Syaikh al-Albani)
Seandainya kita termasuk
orang-orang yang amalan sunnahnya tidak banyak pada bulan puasa, maka
setidaknya kita berusaha untuk memelihara shalat lima waktu dengan baik,
dikerjakan secara berjamaah di masjid, serta berusaha sesegera mungkin
berangkat ke masjid sebelum tiba waktunya. Sesungguhnya menjaga amalan-amalan
yang wajib di bulan Ramadhan adalah suatu bentuk ibadah dan taqarrub yang
paling agung kepada Allah.
Sungguh sangat memprihatinkan,
tatkala kita dapati orang yang melaksanakan shalat tarawih dengan penuh
semangat, bahkan hampir-hampir tidak pernah absen, namun yang disayangkan,
ternyata dia tidak menjaga shalat lima waktu dengan berjamaah. Terkadang bahkan
tidur, melewatkan shalat wajib dengan dalih sebagai persiapan diri untuk shalat
tarawih. Ini jelas-jelas merupakan suatu kejahilan dan bentuk peremehan
terhadap kewajiban! Sungguh hanya mendirikan shalat lima waktu berjamaah tanpa
diiringi dengan shalat tarawih satu malam, lebih baik daripada mengerjakan
shalat tarawih atau shalat malam, namun berdampak menyia-nyiakan shalat lima waktu.
Bukan berarti kita memandang sebelah mata terhadap shalat tarawih, akan tetapi
seharusnya seorang muslim menggabungkan kedua-duanya; memberikan perhatian
khusus terhadap amalan-amalan yang wajib seperti shalat lima waktu, lalu baru
melangkah menuju amalan-amalan yang sunnah seperti shalat tarawih.
Kiat Kelima: Berusaha untuk Mendapatkan Lailatul Qadar
Setiap muslim di bulan berkah ini
berusaha untuk bisa meraih lailatul qadar. Dialah malam diturunkannya Al-Qur’an
(QS. Al-Qadar: 1, dan QS. Ad-Dukhan: 3), dialah malam turunnya para malaikat
dengan membawa rahmat (QS. Al-Qadar: 4), dialah malam yang berbarakah (QS.
Ad-Dukhan: 3), dialah malam yang lebih utama daripada ibadah seribu bulan! (83
tahun plus 4 bulan) (QS. Al-Qadar: 3). Barang siapa yang beribadah pada malam
ini dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah maka dosa-dosanya
yang telah lalu akan diampuni oleh-Nya (HR. Bukhari dan Muslim).
Mendengar segunung keutamaan yang dimiliki malam mulia ini,
seyogyanya seorang muslim memanfaatkan kesempatan emas ini untuk meraihnya.
Di malam ke berapakah lailatul qadar akan jatuh?
Malam lailatul qadar akan jatuh pada malam-malam sepuluh akhir
bulan Ramadhan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan:
“Carilah lailatul qadar
pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Tepatnya pada malam-malam yang ganjil di antara malam-malam yang
sepuluh tersebut, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Carilah lailatul qadar
pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.”
(HR. Bukhari)
Di antara hikmah dirahasiakannya waktu lailatul qadar adalah:
1.
Agar amal ibadah kita lebih banyak. Sebab dengan dirahasiakannya
kapan waktu lailatul qadar, kita akan terus memperbanyak shalat, dzikir, doa
dan membaca Al-Qur’an di sepanjang malam-malam sepuluh terakhir Ramadhan
terutama malam yang ganjil.
2.
Sebagai ujian dari Allah Ta’ala, untuk mengetahui siapa di antara
para hamba-Nya yang bersungguh-sungguh dalam mencari lailatul qadar dan siapa
yang bermalas-malasan serta meremehkannya (Majaalisu Syahri Ramadhaan,
karya Syaikh al-‘Utsaimin hal: 163)
Kiat Keenam: Jadikan Ramadhan
Sebagai Madrasah untuk Melatih Diri Beramal Saleh, yang Terus Dibudayakan
Setelah Berlalunya Bulan Suci Ini
Bulan
Ramadhan ibarat madrasah keimanan, di dalamnya kita belajar mendidik diri untuk
rajin beribadah, dengan harapan setelah kita tamat dari madrasah itu, kebiasaan
rajin beribadah akan terus membekas dalam diri kita hingga kita menghadap
kepada Yang Maha Kuasa.
Allah Ta’ala memerintahkan:
“Dan sembahlah Rabbmu sampai ajal datang
kepadamu.” (TQS. Al-Hijr: 99)
Tatkala al-Hasan al-Bashri membaca
ayat ini beliau menjelaskan,
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan batas
akhir bagi amal seorang Mukmin melainkan ajalnya.”
Maka jangan sampai amal ibadah
kita turut berakhir dengan berakhirnya bulan Ramadhan. Kebiasaan kita untuk
berpuasa, shalat lima waktu berjamaah di masjid, shalat malam, memperbanyak
membaca Al-Qur’an, doa dan zikir, rajin menghadiri majelis taklim dan gemar
bersedekah di bulan Ramadhan, mari terus kita budayakan di luar Ramadhan.
Merupakan ciri utama diterimanya
puasa kita di bulan Ramadhan dan tanda terbesar akan keberhasilan kita meraih
lailatul qadar adalah: berubahnya diri kita menjadi lebih baik daripada kondisi
kita sebelum Ramadhan.
Maraji’:
0 komentar:
Posting Komentar